Jemaat-jemaat Kristen, seturut kebiasaan jemaat Yahudi, dipimpin oleh
suatu dewan Tua-Tua yang dalam kehidupan jemaat meneruskan tugas para
rasul. Seorang Tua-Tua dipilih menurut kriteria tertentu dan dilantik
dengan penumpangan tangan.
ASAL-USUL JABATAN PENATUA
Kitab-kitab perjanjian Baru tidak memberikan informasi mengenai
proses pembentukan Penatua. Dalam Kisah Rasul kita membaca bahwa jemaat
Kristen pada mulanya dipimpin oleh para Rasul. Mereka menjabat semua
jabatan yang ada di jemaat. Para Rasul ini tidak saja bertindak sebagai
saksi mta dan telinga dari segala sesuatu yang dilakukan oleh Yesus
Kristus; melainkan juga melakukan apa yang seharusnya terjadi di dlam
gereja, yaitu: melayankan firman, berdoa di depan umum, memelihara orang
miskin (Kis. 6: 4); menjaga disiplin gereja (Kis. 5: 3 dst.); mengambil
keputusan dalam soal-soal iman (Kis. 15: 1 dst.) serta membimbing
jemaat (I Kor. 1: 10).
Kisah Rasul 14: 23 memberikan kesaksian bahwa Paulus dan Barnabas
mengangkat Tua-Tua dalam setiap jemaat. Hal ini memberi kesan kepada
kita bahwa jabatan rasul dipecah dan dikembangkan di dalam jabatan
Tua-Tua. Tua-Tua inilah yang melanjutkan tugas pelayanan rasul-rasul di
jemaat setempat.
PANGGILAN DAN TUGAS SEORANG PENATUA
Panggilan dan tugas seorang Pejabat gerejawi, baik secara pribadi
maupun bersama-sama dalam kemajelisan dapat dikatakan sebagai berikut:
a. Mengepalai jemaat.
Seorang Penatua bersama rekan sepelayanannya di dalam wadah Majelis
jemaat bertugas memimpin jemaat Tuhan (I Tes. 5: 12; I Tim. 5: 17).
Mereka juga harus mengatur rumah Allah (Titus 1: 7). Di sini Paulus
memakai kata “Oikonomos” yang dapat berarti bendahara atau pemimpin
usaha. Sebagai kepala jemaat. Pejabat gerejawi harus dapat mendorong
warga gereja melaksanakan tri-tugas panggilannya sebagai, yaitu
bersekutu, bersaksi dan melayani baik secara pribadi maupun
bersama-sama.
b. Melayani jemaat secara Pastoral.
Dalam Kisah Rasul 20: 28, Paulus menasehati para Penatua jemaat Efesus,
Karena itu jagalah dirimu…krena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan jemaat Allah…”
Maksud dari menilik di sini bukanlah memeriksa dan mengawasi atau
mencari-cari kesalahan. Pengertian yang sebenarnya ialah mempedulikan
atau memperhatikan.
Tugas ini harus dilaksanakan secara pastoral, seperti seorang gembala
ternak memperlakukan kawanan domba. Jadi maksud Paulus tidal lain
adalah agar setiap pelayan Tuhan memelihara dan menggembalakan jemaat.
Sebagaimana layaknya gembala yang sejati mencari domba yang sesat,
terluka dan sakit. Begitu pula, seorang Penatua harus memperhatikan
warga jemaat yang Tuhan percayakan kepadaNYa.
Pemeliharaan pastoral memberi dampak lain di dalam tugas seorang
Penatua yaitu harus menasihati berdasarkan ajaran yang sehat, ajaran
yang sesuai dengan kesaksian Alkitab (Titus 1: 9). Hal menasihati tidak
saja dilakukan kepada mereka yang telah salah langkah; melainkan secara
umum menyatakan kepemimpinan rohani kepada jemaat, khususnya bagaimana
jemaat harus bertindak dalam hidup sehari-hari. Yang dalam
pelaksanaannya dapat dilakukan secara langsung kepada warga jemaat yang
bersangkutan atau melalui sikap hidupnya sehari-hari. Jika perlu,
seorang Penatua dapat menegur anggota jemaat yang melakukan kesalahan.
Namun perlu diingat bahwa teguran itu harus bersifat korektif,
memperbaiki sesuatu yang keliru.
c. Menjaga kemurnian ajaran.
Sebagai Rasul, Paulus berulang kali mengingatkan jemaat-jemaat akan
bahaya ajaran sesat yang siap mengancam kehidupan beriman gereja dan
warganya (Kis.20: 29; Titus 1: 9,10). Apakah kriterianya jika suatu
ajaran itu dikatakan benar dan murni? Suatu ajaran dapat dikatakan murni
dan benar apabila selaras dengan pemberitaan Kristus dan Rasul-rasul
seperti yang tercatat dalam Alkitab kita.
Oleh sebab itu, seorang Penatua dituntut untuk memahami kebenaran
firman Tuhan serta pegangan ajaran gerejanya yang berpadanan dengan
firman Tuhan itu sendiri. Hal ini perlu dilakukan agar ia sendiri tidak
terombang-ambing oleh rupa-rupa angin pengajaran dan menjadi batu
sandungan baik bagi gerejnya, warga jemaat maupun sesama rekan
sepelayanannya.
SYARAT-SYARAT MENJADI PENATUA
Paulus dengan tegas memberikan syarat-syarat bagi mereka yang akan
diangkat sebagai Penatua dalam I Tim. 3: 2-7 dan Titus 1: 6-9. Dari
kedua bagian Alkitab ini kita dapat melihat ada empat pesyaratan yang
harus dipenuhi oleh mereka yang akan dipilih menjadi penilik
(Tua-Tua/Penatua) jemaat, yaitu:
1. Pola kehidupan Penatua
Seorang Tua-Tua/Penatua hendaknya tidak bercacat. Artinya kelakuannya
tidak boleh memberi alasan bagi orang lain untuk memfitnah atau
melontarkan kritik yang pedas. Ia jangan menjadi batu sandungan bagi
orang lain.
Ia haruslah suami dari satu istri atau seorang istri dari satu suami.
Apabila kita mendengar maraknya perceraian dan poligami; maka kita
dapat mengerti bahwa kehidupan seorang Penatua harus dapat menjadi
contoh di dalam kesetiaan kepada pasangan hidupnya.
Seorang Penatua hendaknya dapat menahan diri dan mengalahkan hawa
nafsu yang dapat merusak hubungan dengan orang lain dan Tuhannya; serta
mampu mengendalikan diri. Bijaksana dalam mengambil kebijakan dan sopan
santun dalam tutur katanya.
Penatua juga harus suka memberi tumpangan. Pada jaman Perjanjian Baru
kesediaan untuk memberi tumpangan merupakan salah satu kebajikan setiap
orang kristen. Pada masa itu banyak pekabar injil yang berkelanan untuk
menyebarkan berita injil dan mereka membutuhkan tumpangan. Jadi
kerelaan memberi tumpangan berkaitan erat dengan pemberitaan injil.
Seorang Penatua hendaknya bukan seorang peminum (pemabuk), bukan
pemarah melainkan peramah, pendamai dan bukan hamba uang. Ia haruslah
seorang yang cinta damai dan suka akan kerukunan.
2. Pola kehidupan keluarga Penatua
Paulus menuliskan syarat demikian: “….
seorang kepala keluarga
yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya. Jikalau seorang
tidak tahu bagaimana memimpin keluarganya bagaimana mungkin ia dapat
memimpin dan mengurus jemaat Alah.”
Keluarga yang baik itu haruslah nyata dari sikap dan tingkah laku
anak-anaknya sendiri yang mau menghormati ayahnya dan tunduk kepada
nasihatnya. Titus 1: 6 berbicara tentang anak-anak yang hidup beriman.
Jikalau orang kurang mampu memimpin keluarganya sendiri da mendidik
anaknya bagaimana ia dapat bertindak di dalam keluarga besar, yaitu
jemaat ?
3. Cakap mengajar orang
Seorang Penatua harus cakap dalam memimpin dan mengarahkan jemaat di
jalan Tuhan, yaitu menanamkan dampak pengajaran Injil Kristus Yesus di
dalam perbuatan hidup sehari-hari. Seorang Penatua terpanggil untuk
memberi pimpinan rohani kepada jemaat.
Dalam Titus 1: 9 dikatakan bahwa Penatua berada dalam proses yang
tidak pernah berhenti untuk mendalami ajaran-ajaran Kristus; yang pada
akhirnya harus ia sampaikan kepada orang lain, baik melalui perkataan
maupun melalui perbuatan lainnya.
4. Bukan petobat baru dan harus punya nama baik di luar jemaat
Hal ini adalah persayaratan praktis yang berkaitan dengan citra
Tua-Tua di dalam maupun di luar jemaat. Kita tahu bahwa kekristenan
masih baru pada jaman Paulus. Seorang petobat baru dengan sendiri
menarik perhatian yang cukup besar dari lingkungannya. Lagi pula petobat
baru dapat jatuh ke dalam dosa kesombongan apabila segera diangkat
menjadi Penatua. Nama jelek di luar jemaat dapat menjadi batu sandungan
bagi mereka yang melihatnya. Paulus memberikan syarat ini agar jangan ia
digugat orang dan menjadi batu sandungan bagi warga jemaat.
Daftar persyaratan ini dapat membuat kita ciut, berkecil hati.. Sebab
siapa yang mampu memenuhi persyaratan itu. Dalam praktiknya mungkin
tidak ada orang yang mampu memenuhi seluruh persyaratan itu. Tetapi itu
tidak berarti segala persyaratan itu dapat diabaikan pada saat kita
memilih seorang Penatua. Persyaratan ini dicantumkan Paulus untuk
memperlihatkan bahwa jabatan Penatua bukanlah jabatan sembarangan dan
dapat disepelekan dalam pelaksanaannya.
Persyaratan ini diajukan bukan dimaksud supaya ita dapat menolak
pangilanNya dengan berkata, “saya tidak layak dan tidak sanggup.” Perlu
diingat bahwa jabatan gerejawi tidak berdasar kepada kebaikan atas
prestasi dari mereka yang memangkunya. Itu semua karena kasihNya yang
memberikan kepada kesempatan untuk menjadi pimpinan dan panutan jemaat.
Kalau Tuhan memilih seseorang maka Ia akan melengkapi dan memampukan
orang tersebut di dalam pelayanannya.
SIFAT-SIFAT SEORANG PENATUA
Dalam kesempatan ini kita akan berbicara tentang beberapa sifat yang
musti nampak dalam kehidupan pelayanan seorang pejabat gerejawi. Hal
ini patut kita perhatikan sebagai cermin bagi diri kita. Beberapa sifat
yang musti nampak dalam kehidupan pelayanan itu antara lain:
1. Kesetiaan/setia
Setia artinya tetap dan teguh hati, taat/patuh atau berpegang teguh.
Galatia 5: 22-23 menyebut kesetiaan sebagai salah satu buah-buah Roh.
Kata setia merupakan terjemahan dari kata “
pistis”. Kata “
pistis”
selain dapat diterjemahkan dengan arti kesetiaan dapat juga
diterjemahkan dengan iman. Kedua kata ini saling berkaitan dan
melengkapi. Tindakan iman dapat terjadi kalau dilandasi oleh kesetiaan
dan kesetiaan dapat terwujud apabila dilandasi oleh iman.
Mengapa kesetiaan menjadi ciri yang pertama harus ada dalam diri
setiap pejabat gerejawi? Karena kesetiaan adalah syarat yang pertama dan
terutama untuk dapat melaksanakan tugas panggilan pelayanan yang telah
Tuhan percayakan. Apabila kesetiaan tidak ada maka pelaksanaan tugas
pelayanan akan macet dan sering kali tidak membuahkan hasil.
Beberapa contoh sikap kesetiaan yang musti nampak dalam diri setiap pejabat gerejawi ialah sebagai berikut:
Setia
Kepada Tuhan yang memanggilnya
Setia
Menjaga anggota jemaat agar tidak tersesat
Setia
Mengikuti kebaktian jemaat
Setia
Mengunjungi warga jemaat
Setia
Mengikuti Rapat Majelis jemaat
Setia
Mengikuti rapat-rapat gerejawi
Setia
Menghibur orang sakit
Setia
Membaca dan merenungkan firman Tuhan
Baik secara pribadi maupun bersama keluarga
Setia
Berdoa
Setia
Terhadap gerejanya
2. Rendah Hati
Rendah hati artinya tidak sombong/angkuh; tidak meninggikan diri
sendiri dan merendahkan orang lain. Dalam diri manusia terdapat suatu
bahaya besar yang berakar dalam hati dan siap muncul dalam diri manusia
apabila memangku suatu jabatan, yaitu kesombongan.
Dosa pertama Adam dan Hawa muncul dari sifat kesombongan. Mereka
menolak untuk merendahkan hati di hadapan Tuhan. Mereka ingin menjadi
sama seperti allah. Secara kongret kesombongan manusia diperlihatkan
pada waktu pembangunan Menara Babel. Manusia pada umumnya suka mengangap
dirinya paling penting, paling pandai, paling tinggi, paling tahu dan
lain sebagainya.
Paulus dalam Surat Roma 12: 16 menasihati,
“…janganlah menganggap dirimu pandai !” Sedangkan rasul Petrus dalam suratnya berseru,
“…dan
kamu semua, rendahkanlah dirimu sendiri seorang terhadap yang lain
sebab Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihi orang yang
rendah hati…” (I Petrus 5: 5). Selain itu baca juga: Yeremia 9: 23-26; Mazmur 101: 5; Amsal 8: 13; I Kor. 1: 28-31; I Kor. 4: 6-7.
Sifat rendah hati harus menjadi bagian dari kehidupan seorang pejabat
gerejawi karena sebenarnya Tuhan tidak menyukai orng yang sombong dan
tinggi hati (Mazmur 101: 5). Seorang pejabat gerejawi yang tinggi hati,
congkak, terlalu memuji diri; melupakan bahwa semua kemampuannya bahkan
segala sesuatu yang dimilikinya berasal dari Tuhan. Kita jangan lupa
bahwa segala sesuatu yang ada pada kita adalah pemberian Tuhan.
Diberikan kepada kita untuk dipkai dengan segala kerendahan hati bagi
kepentingan orang banyak dan gerejaNya. Seorang pejabat gerejawi tidak
boleh melupakan bahwa bukan dirinya sendiri yang menciptakan dirinya
menjadi berhikmat atau pandai dalam suatu atau berbagai bidang tertentu.
Itu semua adalah semata-mata pekerjaan Tuhan.
3. Dapat menjaga rahasia jabatan.
Seorang pejabat gerejawi sering mendengar masalah anggota jemaat.
Lebih-lebih pada saat berkunjung ke rumah anggota jemaat ia dapat
mendengar hal-hal yang sifatnya rahasia, yang orang lain sama sekali
tidak boleh mengetahuinya. Ada hal yang dipercayakan kepada kita. Sebab
ada anggota jemaat tertentu yang ingin mendapat nasehat, penghiburan,
hikmat dari kita. Sebagai pejabat gerejawi kita memegang teguh rahasia
pribadi orang lain yang diceritkan kepada kita.
Suatu kesalahan besar apabila seorang pejabat gerejawi menceritakan
hal seperti itu kepada orang lain, walaupun itu kepada istri atau
suaminya sendiri. Sikap yang buruk ini dapat merusak suasana
keterbukaan yang ada antara seorang anggota jemaat dengan seorang
Penatua atau Pendeta. Jika seseorang mendengar bahwa rahasianya tidak
aman pada seorang Penatua atau Pendeta, maka pasti orang itu tidak akan
bercerita lagi secara terbuka mengenai masalah hidupnya.
Bahkan dalam rapat Majelis jemaat pun seorang pejabat gerejawi harus
dapat merahasiakan apa yang wajib dirahasiakan. Harus dipertimbangkan
dengan baik apa yang perlu dilaporkan dan mana yang tidak perlu
dilaporkan kepada persidangan.
Ingat prinsip ini: Jagalah kehormatan dan nama baik anggota jemaat.
Dan jaga pula kehormatan serta nama baik jabatan gerejawi yang Tuhan
percayakan kepada kita.
4. Kooperatif (dapat bekerja sama)
Seorang pejabat gerejawi harus menuyadari bahwa dalam kepemimpinan
jemaat ia tidak bekerja sendiri. Ia merupakan bagian dari satu tim yang
bekerja dan berjalan bersama dalam mencapai tujuan yang sama. Ingat
pepatah: “Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh.” (Bandingkan dengan
Mazmur 133; I Korintus 12: 12-31).
Tidak ada pekerjaan yang terasa berat apabila dikerjakan
bersama-sama. Sikap kooperatif membuat suasana pelayanan menjadi nyaman
dan penuh kegembiraan. Dalam sikap yang kooperatif ini tidak akan ada
seorang pun yang berusaha menonjolkan diri atau membiarkan rekan
sepelayanannya bekerja sendiri.
5. Terus belajar untuk mengembangkan diri
Banyak kelemahan pejabat gerejawi di sini. Mereka tidak mau terus
belajar dan menguasai hal-hal baru bagi peningkatan pelayanannya.
Sebagai pejabat gerejawi kita tidak boleh berpuas diri dengan apa yang
telah dapat kita kerjakan. Banyak belajar membuat kita bertumbuh dan
berbuah semakin lebat bagi Kristus dan jemaatNya. Semakin banyak hal
kita ketahui dan semakin terampil diri kita dalam berbagai hal akan
sangat berarti bagi peningkatan pelayanan terhadap jemaat.
Mendapat panggilan dan kepercayaan Tuhan untuk memimpin jemaatNya
adalah suatu hal yang istimewa. Sebab tidak semua orang dipercaya Tuhan
menjadi pelayan jemaatNya. Oleh sebab itu, marilah kita tunaikan tugas
panggilan kita selaku pejabat gerejawi dengan penuh kesetiaan, tanggung
jawab, kerendahan hati, terus belajar mengembangkan diri dan kerja sama
yang baik dengan sesama rekan sepelayanan. Sebab kita melayani Tuhan
yang telah terlebih dahulu melayani kita. Be blessed!
“Kepemimpinan adalah perbuatan bukan jenjang kepangkatan.”
(Donald H. Mc. Gannon)
Sumber : http://blessedday4us.wordpress.com/2010/05/28/penatua-di-dalam-perjanjian-baru/