Beban Sebuah Dosa

Seorang pendeta berdiri di pinggir jalan di dekat sebuah halte bus. Tak henti-hentinya ia berteriak: “Siapa yang percaya bahwa Yesus adalah Tuhan, maka ia akan diselamatkan.” Ia juga meneriakan agar semua manusia bertobat dan tak berbuat dosa.
Tiba-tiba seorang anak muda datang dan berdiri di depannya lalu bertanya; “Bapak pendeta; Anda mengatakan bahwa semua manusia adalah orang-orang berdosa tanpa terkecuali. Membawa serta dosa dalam diri sendiri sama dengan memikul sebuah beban yang amat berat. Namun saya tak pernah merasakannya sedikitpun. Katakanlah padaku, berapa berat sebuah dosa itu? Lima kilo? Sepuluh kilo? Atau seratus kilo?”
Sang pendeta memperhatikan anak muda tersebut dengan seksama lalu balik bertanya; “Bila kita meletakan 500 kilo beban ke atas mayat, apakah mayat tersebut akan merasa bahwa beban yang dipikulnya itu berat?” Dengan cepat dan pasti anak muda tersebut menjawab; “Tentu saja tidak!! Ia pasti tidak merasa berat karena ia telah mati.”
Sang pendeta mengagumi anak muda tersebut. Sambil tersenyum ia menjawab; “Hal yang sama terjadi pada kita. Kita tentu tak merasa bahwa beban dosa yang kita pikul itu berat. Karena pada saat kita berada dalam dosa, saat itulah kita sebetulnya telah mati.”
-------------
Bila anda masih mampu merasa sakit berhadapan dengan dosa-dosa yang anda perbuat, maka bersyukurlah karena Roh Kudus sedang bekerja dalam diri anda untuk mengingatkan anda untuk tak berbuat dosa lagi. Namun bila suatu saat anda tak merasa bersalah sedikitpun saat berbuat dosa, maka saat itu sebetulnya anda telah mati.
“Karena itu setiap orang yang tetap berada di dalam Dia, tidak berbuat dosa lagi; setiap orang yang tetap berbuat dosa, tidak melihat dan tidak mengenal Dia.” (1 Yohanes 3: 6)

PENATUA DI DALAM PERJANJIAN BARU

Jemaat-jemaat Kristen, seturut kebiasaan jemaat Yahudi, dipimpin oleh suatu dewan Tua-Tua yang dalam kehidupan jemaat meneruskan tugas para rasul. Seorang Tua-Tua dipilih menurut kriteria tertentu dan dilantik dengan penumpangan tangan.

ASAL-USUL JABATAN PENATUA
Kitab-kitab perjanjian Baru tidak memberikan informasi mengenai proses pembentukan Penatua. Dalam Kisah Rasul kita membaca bahwa jemaat Kristen pada mulanya dipimpin oleh para Rasul. Mereka menjabat semua jabatan yang ada di jemaat. Para Rasul ini tidak saja bertindak  sebagai saksi mta dan telinga dari segala sesuatu yang dilakukan oleh Yesus Kristus; melainkan juga melakukan apa yang  seharusnya terjadi di dlam gereja, yaitu: melayankan firman, berdoa di depan umum, memelihara orang miskin (Kis. 6: 4); menjaga disiplin gereja (Kis. 5: 3 dst.); mengambil keputusan dalam soal-soal iman  (Kis. 15: 1 dst.)  serta  membimbing  jemaat    (I Kor. 1: 10).
Kisah Rasul 14: 23 memberikan kesaksian bahwa Paulus dan Barnabas mengangkat Tua-Tua dalam  setiap jemaat. Hal ini memberi kesan kepada kita bahwa jabatan rasul dipecah dan dikembangkan di dalam jabatan Tua-Tua. Tua-Tua inilah yang melanjutkan tugas pelayanan rasul-rasul di jemaat setempat.

PANGGILAN DAN TUGAS SEORANG PENATUA
Panggilan dan tugas seorang Pejabat gerejawi, baik secara pribadi maupun bersama-sama dalam kemajelisan dapat dikatakan  sebagai berikut:


a. Mengepalai jemaat.
Seorang Penatua bersama rekan sepelayanannya di dalam wadah Majelis jemaat bertugas memimpin jemaat Tuhan (I Tes. 5: 12; I Tim. 5: 17). Mereka juga harus mengatur rumah Allah (Titus 1: 7). Di sini Paulus memakai kata “Oikonomos” yang dapat berarti bendahara atau pemimpin usaha. Sebagai kepala jemaat. Pejabat gerejawi harus dapat mendorong warga gereja melaksanakan tri-tugas panggilannya sebagai, yaitu bersekutu, bersaksi dan melayani baik secara pribadi maupun bersama-sama.

b. Melayani jemaat secara Pastoral.
Dalam Kisah Rasul 20: 28, Paulus menasehati para Penatua jemaat Efesus, Karena itu jagalah dirimu…krena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan jemaat Allah…” Maksud dari menilik di sini bukanlah memeriksa dan mengawasi atau mencari-cari kesalahan. Pengertian yang sebenarnya ialah mempedulikan atau memperhatikan.

Tugas ini harus dilaksanakan secara pastoral, seperti seorang gembala ternak memperlakukan kawanan domba. Jadi maksud Paulus tidal lain adalah agar setiap pelayan Tuhan memelihara dan menggembalakan jemaat. Sebagaimana layaknya gembala yang sejati mencari domba yang sesat, terluka dan sakit. Begitu pula, seorang Penatua harus memperhatikan warga jemaat yang Tuhan percayakan kepadaNYa.

Pemeliharaan pastoral memberi dampak lain di dalam tugas seorang Penatua yaitu harus menasihati berdasarkan ajaran yang sehat, ajaran yang sesuai dengan kesaksian Alkitab (Titus 1: 9). Hal menasihati tidak saja dilakukan kepada mereka yang telah salah langkah; melainkan secara umum menyatakan kepemimpinan rohani kepada jemaat, khususnya bagaimana jemaat harus bertindak dalam hidup sehari-hari. Yang dalam pelaksanaannya dapat dilakukan secara langsung kepada warga jemaat yang bersangkutan atau melalui sikap hidupnya sehari-hari. Jika perlu, seorang Penatua dapat menegur anggota jemaat yang melakukan kesalahan. Namun perlu diingat bahwa teguran itu harus bersifat korektif, memperbaiki sesuatu yang keliru.


c. Menjaga kemurnian ajaran.
Sebagai Rasul, Paulus berulang kali mengingatkan jemaat-jemaat akan bahaya ajaran sesat yang siap mengancam kehidupan beriman gereja dan warganya (Kis.20: 29; Titus 1: 9,10). Apakah kriterianya jika suatu ajaran itu dikatakan benar dan murni? Suatu ajaran dapat dikatakan murni dan benar apabila selaras dengan pemberitaan Kristus dan Rasul-rasul seperti yang tercatat dalam Alkitab kita.
Oleh sebab itu, seorang Penatua dituntut untuk memahami kebenaran firman Tuhan serta pegangan ajaran gerejanya yang berpadanan dengan firman Tuhan itu sendiri. Hal ini perlu dilakukan agar ia sendiri tidak terombang-ambing oleh rupa-rupa angin pengajaran  dan menjadi batu sandungan baik bagi gerejnya, warga jemaat maupun sesama rekan sepelayanannya.

SYARAT-SYARAT MENJADI PENATUA
Paulus dengan tegas memberikan syarat-syarat bagi mereka yang akan diangkat sebagai Penatua dalam I Tim. 3: 2-7 dan Titus 1: 6-9. Dari kedua bagian Alkitab ini kita dapat melihat ada empat pesyaratan yang harus dipenuhi oleh mereka yang akan dipilih menjadi penilik (Tua-Tua/Penatua) jemaat, yaitu:

1. Pola kehidupan Penatua
Seorang Tua-Tua/Penatua hendaknya tidak bercacat. Artinya kelakuannya tidak boleh memberi alasan bagi orang lain untuk memfitnah atau melontarkan kritik yang pedas. Ia jangan menjadi batu sandungan bagi orang lain.
Ia haruslah suami dari satu istri atau seorang istri dari satu suami. Apabila kita mendengar maraknya perceraian dan poligami; maka kita dapat mengerti bahwa kehidupan seorang Penatua harus dapat menjadi contoh di dalam kesetiaan kepada pasangan hidupnya.
Seorang Penatua hendaknya dapat menahan diri dan mengalahkan hawa nafsu yang dapat merusak hubungan dengan orang lain dan Tuhannya; serta mampu mengendalikan diri. Bijaksana dalam mengambil kebijakan dan sopan santun dalam tutur katanya.
Penatua juga harus suka memberi tumpangan. Pada jaman Perjanjian Baru kesediaan untuk memberi tumpangan merupakan salah satu kebajikan setiap orang kristen. Pada masa itu banyak pekabar injil yang berkelanan untuk menyebarkan berita injil dan mereka membutuhkan tumpangan. Jadi kerelaan memberi tumpangan berkaitan erat dengan pemberitaan injil.
Seorang Penatua hendaknya bukan seorang peminum (pemabuk), bukan pemarah melainkan peramah, pendamai dan bukan hamba uang. Ia haruslah seorang yang cinta damai dan suka akan kerukunan.

2. Pola kehidupan keluarga Penatua
Paulus menuliskan syarat demikian: “….seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya. Jikalau seorang tidak tahu bagaimana memimpin keluarganya bagaimana mungkin ia dapat memimpin dan mengurus jemaat Alah.”
Keluarga yang baik itu haruslah nyata dari sikap dan tingkah laku anak-anaknya sendiri yang mau menghormati ayahnya dan tunduk kepada nasihatnya. Titus 1: 6 berbicara tentang anak-anak yang hidup beriman. Jikalau orang kurang mampu memimpin keluarganya sendiri da mendidik anaknya bagaimana ia dapat bertindak di dalam keluarga  besar, yaitu jemaat ?

3. Cakap mengajar orang
Seorang Penatua harus cakap dalam memimpin  dan mengarahkan jemaat di jalan Tuhan, yaitu menanamkan dampak pengajaran Injil Kristus Yesus di dalam perbuatan hidup sehari-hari. Seorang Penatua terpanggil untuk memberi pimpinan rohani kepada jemaat.
Dalam Titus 1: 9 dikatakan bahwa Penatua berada dalam proses yang tidak pernah berhenti untuk mendalami ajaran-ajaran Kristus; yang pada akhirnya harus ia sampaikan kepada orang lain, baik melalui perkataan maupun melalui perbuatan lainnya.

4. Bukan petobat baru dan harus punya nama baik di luar jemaat
Hal ini adalah persayaratan praktis yang berkaitan dengan citra Tua-Tua di dalam maupun di luar jemaat. Kita tahu bahwa kekristenan masih baru pada jaman Paulus. Seorang petobat baru dengan sendiri menarik perhatian yang cukup besar dari lingkungannya. Lagi pula petobat baru dapat jatuh ke dalam dosa kesombongan apabila segera diangkat menjadi Penatua. Nama jelek di luar jemaat dapat menjadi batu sandungan bagi mereka yang melihatnya. Paulus memberikan syarat ini agar jangan ia digugat orang dan menjadi batu sandungan bagi warga jemaat.
Daftar persyaratan ini dapat membuat kita ciut, berkecil hati.. Sebab siapa yang mampu memenuhi persyaratan itu. Dalam praktiknya mungkin tidak ada orang yang mampu memenuhi seluruh persyaratan itu. Tetapi itu tidak berarti segala persyaratan itu dapat diabaikan pada saat kita memilih seorang Penatua. Persyaratan ini dicantumkan Paulus untuk memperlihatkan bahwa jabatan Penatua bukanlah jabatan sembarangan dan dapat disepelekan dalam pelaksanaannya.
Persyaratan ini diajukan  bukan dimaksud supaya ita dapat menolak pangilanNya dengan berkata, “saya tidak layak dan tidak sanggup.” Perlu diingat bahwa jabatan gerejawi tidak berdasar kepada kebaikan atas prestasi dari mereka yang memangkunya. Itu semua karena kasihNya yang memberikan kepada kesempatan untuk menjadi pimpinan dan panutan jemaat. Kalau Tuhan memilih seseorang maka Ia akan melengkapi dan memampukan orang tersebut di dalam pelayanannya.

SIFAT-SIFAT  SEORANG PENATUA
Dalam kesempatan ini kita akan  berbicara tentang beberapa sifat yang musti nampak dalam kehidupan pelayanan seorang pejabat gerejawi. Hal ini patut kita perhatikan sebagai cermin bagi diri kita. Beberapa sifat yang musti nampak dalam kehidupan pelayanan itu antara lain:

1. Kesetiaan/setia
Setia artinya tetap dan teguh hati, taat/patuh atau berpegang teguh. Galatia 5: 22-23 menyebut kesetiaan sebagai salah satu buah-buah Roh. Kata setia merupakan terjemahan dari  kata “pistis”. Kata “pistis”  selain dapat diterjemahkan dengan arti kesetiaan dapat juga diterjemahkan dengan iman. Kedua kata ini saling berkaitan dan melengkapi. Tindakan iman dapat terjadi kalau dilandasi oleh kesetiaan dan kesetiaan dapat terwujud apabila dilandasi oleh iman.
Mengapa kesetiaan menjadi ciri yang pertama harus ada dalam diri setiap pejabat gerejawi? Karena kesetiaan adalah syarat yang pertama dan terutama untuk dapat melaksanakan tugas panggilan pelayanan yang telah Tuhan percayakan. Apabila kesetiaan tidak ada maka pelaksanaan tugas pelayanan akan macet dan sering kali tidak membuahkan hasil.
Beberapa contoh sikap kesetiaan yang musti nampak dalam diri setiap pejabat gerejawi ialah sebagai berikut:
Setia
Kepada Tuhan yang memanggilnya
Setia
Menjaga anggota jemaat agar tidak tersesat
Setia
Mengikuti kebaktian jemaat
Setia
Mengunjungi warga jemaat
Setia
Mengikuti Rapat Majelis jemaat
Setia
Mengikuti rapat-rapat gerejawi
Setia
Menghibur orang sakit
Setia
Membaca dan merenungkan firman Tuhan
Baik secara pribadi maupun bersama keluarga
Setia
Berdoa
Setia
Terhadap gerejanya
2. Rendah Hati
Rendah hati artinya tidak sombong/angkuh; tidak meninggikan diri sendiri  dan merendahkan orang lain. Dalam diri manusia terdapat suatu bahaya besar yang berakar dalam hati dan siap muncul dalam diri manusia apabila memangku suatu jabatan, yaitu kesombongan.
Dosa pertama Adam dan Hawa muncul dari sifat kesombongan. Mereka menolak untuk merendahkan hati di hadapan Tuhan. Mereka ingin menjadi sama seperti allah. Secara kongret kesombongan manusia diperlihatkan pada waktu pembangunan Menara Babel. Manusia pada umumnya suka mengangap dirinya paling penting, paling pandai, paling tinggi, paling tahu dan lain sebagainya.
Paulus dalam Surat Roma 12: 16 menasihati, “…janganlah menganggap dirimu pandai !” Sedangkan rasul Petrus dalam suratnya berseru, “…dan kamu semua, rendahkanlah dirimu sendiri seorang terhadap yang lain sebab Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihi orang yang rendah hati…” (I Petrus 5: 5). Selain itu baca juga: Yeremia 9: 23-26; Mazmur 101: 5; Amsal 8: 13; I Kor. 1: 28-31; I Kor. 4: 6-7.
Sifat rendah hati harus menjadi bagian dari kehidupan seorang pejabat gerejawi karena sebenarnya Tuhan tidak menyukai orng yang sombong dan tinggi hati (Mazmur 101: 5). Seorang pejabat gerejawi yang tinggi hati, congkak, terlalu memuji diri; melupakan bahwa semua kemampuannya bahkan segala sesuatu yang dimilikinya berasal dari Tuhan. Kita jangan lupa bahwa segala sesuatu yang ada pada kita adalah pemberian Tuhan. Diberikan kepada kita untuk dipkai dengan segala  kerendahan hati bagi kepentingan orang banyak dan gerejaNya. Seorang pejabat gerejawi tidak boleh melupakan bahwa bukan dirinya sendiri yang menciptakan dirinya menjadi berhikmat atau pandai dalam suatu atau berbagai bidang tertentu. Itu semua adalah semata-mata pekerjaan Tuhan.

3. Dapat menjaga rahasia jabatan.
Seorang pejabat gerejawi sering mendengar masalah anggota jemaat. Lebih-lebih pada saat berkunjung ke rumah anggota jemaat ia dapat mendengar hal-hal yang sifatnya rahasia, yang orang lain sama sekali tidak boleh mengetahuinya. Ada hal yang dipercayakan kepada kita. Sebab ada anggota jemaat tertentu yang ingin mendapat nasehat, penghiburan, hikmat dari kita. Sebagai pejabat gerejawi kita memegang teguh rahasia pribadi orang lain yang diceritkan kepada kita.
Suatu kesalahan besar apabila seorang pejabat gerejawi menceritakan  hal seperti itu kepada orang lain, walaupun itu kepada istri atau suaminya sendiri. Sikap yang buruk ini dapat merusak  suasana keterbukaan yang ada antara seorang anggota jemaat dengan seorang Penatua atau Pendeta. Jika seseorang  mendengar bahwa rahasianya tidak aman pada seorang Penatua atau Pendeta, maka pasti orang itu tidak akan bercerita lagi secara terbuka mengenai masalah hidupnya.
Bahkan dalam rapat Majelis jemaat pun seorang pejabat gerejawi harus dapat merahasiakan apa yang wajib dirahasiakan. Harus dipertimbangkan dengan baik apa yang perlu dilaporkan dan mana yang tidak perlu dilaporkan kepada persidangan.
Ingat prinsip ini: Jagalah kehormatan dan nama baik anggota jemaat. Dan jaga pula kehormatan serta nama baik jabatan gerejawi yang Tuhan percayakan kepada kita.

4. Kooperatif (dapat bekerja sama)
Seorang pejabat gerejawi harus menuyadari bahwa dalam kepemimpinan jemaat  ia tidak bekerja sendiri. Ia merupakan bagian dari satu tim yang bekerja dan berjalan bersama dalam mencapai tujuan yang sama. Ingat pepatah: “Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh.” (Bandingkan dengan Mazmur 133; I Korintus 12: 12-31).
Tidak ada pekerjaan yang terasa berat apabila dikerjakan bersama-sama. Sikap kooperatif membuat suasana pelayanan menjadi nyaman dan penuh kegembiraan. Dalam sikap yang kooperatif ini tidak akan ada seorang pun yang berusaha menonjolkan diri atau membiarkan rekan sepelayanannya bekerja sendiri.

5.  Terus belajar untuk mengembangkan diri
Banyak kelemahan pejabat gerejawi di sini. Mereka tidak mau terus belajar dan menguasai hal-hal baru bagi peningkatan pelayanannya. Sebagai pejabat gerejawi kita tidak boleh berpuas diri dengan apa yang telah dapat kita kerjakan. Banyak belajar membuat kita bertumbuh dan berbuah semakin lebat bagi Kristus dan jemaatNya. Semakin banyak hal kita ketahui dan semakin terampil diri kita dalam berbagai hal akan sangat berarti bagi peningkatan pelayanan terhadap jemaat.
Mendapat panggilan dan kepercayaan Tuhan untuk memimpin jemaatNya adalah suatu hal yang istimewa. Sebab tidak semua orang dipercaya Tuhan menjadi pelayan jemaatNya. Oleh sebab itu, marilah kita tunaikan tugas  panggilan kita selaku pejabat gerejawi dengan penuh kesetiaan, tanggung jawab, kerendahan hati, terus belajar mengembangkan diri dan kerja sama yang baik dengan sesama rekan sepelayanan. Sebab kita melayani Tuhan yang telah terlebih dahulu melayani kita. Be blessed!

“Kepemimpinan adalah perbuatan bukan jenjang kepangkatan.”
(Donald H. Mc. Gannon)


Sumber :  http://blessedday4us.wordpress.com/2010/05/28/penatua-di-dalam-perjanjian-baru/